Minggu, 16 September 2007 |
|
|
www.kompas.com |
Malaysia Sudah Lebih Terbuka Ilham Khoiri Malaysia sedang berubah. Perubahan itu juga merasuki dunia seni rupa. Para seniman generasi muda dari negeri jiran itu kini lebih merdeka berekspresi, seraya menggamit gagasan dan anasir seni kontemporer. Pameran bersama seniman Malaysia bertajuk Jejak di Galeri Nasional, Jakarta, 11-20 September, memperlihatkan pergeseran seni rupa di negeri itu. Sebanyak 25 seniman muda ikut serta dalam pergelaran ini, antara lain Chong Siew Ying, Fauzulyusri, Azliza binti Ayob, Ili Farhana, Intan Rafiza Abu Bakar, Chan Kok Hooi, Hushinaidi bin Abdul Hamid, Roopesh Sitharan, Mohd Kamal Sabran, Tan Nan See, Aswad Ameir, Ahmad Fuad Osman, Roslisham Ismail, Shahrul Jamili Miskon, dan Umibaizurah Mahir. Mengamati pameran kali ini, kita segera menangkap kesan, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik, Malaysia juga dilanda arus keterbukaan. Meski tak segegap di Indonesia, seni rupa di sana beranjak dari corak modern-formalis menuju gaya kontemporer yang lebih bebas dan menerabas batas-batas seni. Tak sekadar mengejar penampakan yang estetis, karya-karya yang dipajang berusaha merespons masalah sosial. Para seniman yang tampil berasal dari generasi yang tumbuh tahun 1990-an dan 2000-an. Mereka hidup dalam alam, tantangan, dan problem yang berbeda dengan masa sebelumnya. Gagasan dan teknik karya yang diusung pun lebih lugas. Tengoklah karya Chong Siew Ying yang menggarap wajah-wajah dalam berbagai ekspresi. Landscape dengan teknik lukis China dijadikan latar belakang bagi mimik-mimik wajah yang dilukis secara realis dengan sapuan-sapuan besar di atas kanvas lebar. Ekspresi wajah yang tersenyum, tertawa, cemberut, atau meringis mencerminkan bermacam kegelisahan masyarakat menyikapi perubahan zaman. Karya-karya Ili Farhana lebih nakal, penuh parodi. Dalam lukisan berjudul Last Suffer, misalnya, dia menjiplak komposisi lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci (tahun 1495). Namun, sosok Yesus dan para sahabatnya diganti tokoh-tokoh hiburan Barat yang menjejali pasar Asia, seperti tokoh kartun Batman, Tom and Jerry, Dora, atau sosok kakek yang selalu menempel pada lambang Kentucky Fried Chicken (KFC). Ahmad Fuad Osman mengopi sampul majalah Newsweek dan Time, tetapi dengan niat untuk dipelesetkan. Tulisan Newsweek diubah jadi Newsweak, sedangkan Time jadi Item. Karya ini jadi olok-olok atas "hegemoni" berita dari dua majalah yang selama ini dicap supremasi informasi dunia. Roslisham Ismail membuat cetakan digital yang cukup menggelitik. Karya berjudul How Risky I am menyajikan tempelan koran bergambar adegan kekerasan, seperti pertarungan tinju yang diimbuhi beberapa catatan. Ini jadi sindiran atas kekerasan yang ditayangkan media massa secara vulgar kepada masyarakat. Karya-karya lain menunjukkan pemakaian media baru oleh seniman negeri jiran itu, seperti Kamal Sabran dan Roopesh Sitharan, yang memanfaatkan video. Menurut catatan kurator pameran, Mohamad Majidi Amir, perubahan seni rupa di Malaysia terasa sejak tahun 1990-an, ketika negara itu menetapkan program Wawasan 2020 dan usaha menjadikan negeri itu sebagai Multimedia Super Corridor (MSC). Dua program itu mendorong masyarakat untuk berpikir, bergaya hidup, dan berekspresi seni secara lebih segar. Dilihat dari sisi pasar, pengelola galeri di Kuala Lumpur, Vallentine Willy, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, sejumlah pelukis Malaysia turut terseret dalam arus pasang seni rupa kontemporer Asia yang dipicu booming seni rupa China terutama sejak tahun 2003. Karya beberapa pelukis di sana juga memperoleh harga tinggi di pasar regional Asia. Jejak lama Meski telah bergumul dengan bahasa kontemporer, sebagian seniman Malaysia masih belum bisa menghapus jejak pendekatan lama yang lebih formalistik. Ada seniman yang berkutat mencari estetika bentuk, warna, dan bidang melalui corak abstrak; ada juga yang terpaut dengan corak dekoratif. Corak abstrak ditunjukkan Aswad Ameir, sedangkan gaya dekoratif ditempuh Azliza binti Ayob dan Shahrul Jamili Miskon. Pada beberapa dekade sebelumnya, dua corak itu tumbuh lebih subur lagi. Sulaeman Hj Esa, misalnya, kerap melukis ornamentasi Melayu yang dilandasi semangat spiritualitas Tauhid (ke-Esa-an Tuhan). Pelukis lain, Syed Ahmad Jamal, banyak membuat karya abstrak. Kedua pelukis ini aktif berkarya tahun 1980-an. Corak abstrak (yang menghilangkan citra bentuk) dan dekoratif (hasil stilasi dari ornamen tetumbuhan yang diulang-ulang) berkembang di Malaysia sejak beberapa waktu silam. Mungkin saja itu dipengaruhi alasan teologis agama Islam yang lekat dengan budaya masyarakat. Bagaimanapun, sebagian kalangan Islam yang berpegang pada kaidah fiqh (legal) masih memercayai ikonoklasme: agama melarang penggambaran segala makhluk bernyawa. Dalam pameran Jejak ini pun, para seniman belum berani terang-terangan menampilkan sosok manusia telanjang. Sosok-sosok manusia tanpa baju muncul, tetapi masih dibalut celana dalam, seperti karya Chan Kok Hooi yang bercorak surealis, berjudul Requiem. Lukisan Khairil Anwar Mohd Azhari menggambarkan Pak Guru Kahar dalam balutan baju khas Melayu yang santun penuh, penuh romantisme pada budaya lama. Situasi itu berbeda dengan perkembangan seni rupa Indonesia yang sejak awal tumbuh nyaris tanpa beban. Dengan gelora berkreasi yang lebih liar, seni rupa Tanah Air menyerap semangat kebebasan seni rupa Barat yang lebih agresif. Kebebasan jadi landasan berkarya sejak zaman Persagi pada masa awal kemerdekaan, zaman Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1970-an, atau masa kejayaan kelompok-kelompok perupa muda kontemporer tahun 2000-an, seperti kelompok Jendela di Yogyakarta. |
www.sepanjangbraga.blogspot.com/2007
Tuesday, October 02, 2007
JEJAK mengukir jejak di negeri tetangga
Dua puluh tiga perupa dari negeri jiran, Malaysia, berpameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (Galnas), Jakarta. Berlangsung sejak tanggal 10 sampai 20 September 2007. Pameran yang mengambil judul “Jejak” merupakan pencanangan tekad para seniman yang tergabung dalam lembaga Balai Seni Lukis Negara (BSLN) menuju Wawasan 2020, saat Malaysia memproklamirkan diri sebagai Negara Maju dan menjadi pusat Multimedia Super Corridor (MSC).
Menarik untuk disimak, karya mereka telah mengikuti gelombang senirupa yang sangat terpengaruh oleh teknologi multimedia. Masing-masing dengan karakter penciptaan yang berusaha terlibat dengan kondisi sosial di sekitar kehidupan mereka, isu global, dan demam industri yang marak di mana-mana. Misalnya dalam karya grafis yang satiris, Ahmad Fuad Osman melakukan permak terhadap perwajahan majalah kelas dunia: Time menjadi “Item”, dan Newsweek menjadi “Newsweak”. Mengalir bersama Osman, Roalisham Ismail juga menggarap poster yang mengangkat kebudayaan massa, di antaranya pengaruh televisi sebagai gerakan pop yang mendunia.
Tak beda dengan para perupa Indonesia, dengan kebebasan yang mungkin juga sama, mereka bukan sekadar murni berkarya. Selalu ada pesan yang termaktub dalam desain atau goresan, sehingga yang tampil dalam kanvas atau karya instalasi dapat dilihat secara multitafsir. Gambar Chan Kok Hooi misalnya, ada metafora dan personifikasi yang rumit melalui bahasa rupa. Sejalan dengan Ilham Fadhli bin Mohd Shaimy dengan lukisan yang mengingatkan kita akan bahaya polusi terhadap lingkungan hidup. Sementara Mohd Saharuddin memilih materi tembaga untuk mengilustrasikan problem kita bersama terhadap tekanan hidup manusia.
Barangkali karena saya hobi mengumpulkan kartu pos, langsung tertarik dengan deretan lukisan mini yang ditera di atas kartu pos. Tan Nan See menunjukkan ketelatenan luar biasa dengan ukuran-ukuran mungil, bahkan mempergunakan bingkai sebagai varian estetika. Sebaliknya, kibasan kuas besar yang membentuk ekspresi kuat sebuah wajah dipresentasikan oleh Chong Siew Ying.
Tentu tak semua dibahas di sini, namun dapat dipuji bahwa sang kurator telah bekerja sangat selektif hingga yang dipamerkan merupakan pilihan dari pelbagai cara ungkap, materi, dan teknik. Ada fotografi, geometrik yang tekstural, medium tiga dimensi, dan eksperimen penggunaan cat dalam sebuah rangkaian komposisi. Bahkan Umibaizurah Mahir sengaja membuat hiasan manis dengan puluhan kapal terbang mungil yang terbuat dari porselen, terlihat cukup dekoratif.
Angkatan muda yang merupakan masa depan senirupawan Malaysia ini sudah selayaknya dicatat sebagai pengukir jejak. Maka tema ”Jejak” dipilih sebagai satu gambaran berawalnya era baru dalam seni rupa Malaysia ke depan. Segala yang terjadi dan berkembang di tanah air dan budaya mereka dapat dilihat dari karya-karya yang terpamer. Setidaknya mereka telah mengalami pergulatan pemikiran dengan para seniornya sebagai proses yang lumrah dalam membentuk jati diri.
(Kurnia Effendi)